Transmisi Pesan Nabi Secara Lisan atau Tulisan: Asal Usul Penyampaian Sumber Hukum Islam

Transmisi hadis, atau Pesan Nabi ﷺ, awalnya didominasi oleh tradisi lisan. Para Sahabat memiliki daya ingat yang luar biasa, didukung oleh kecintaan mereka terhadap Rasulullah. Mereka menghafal ucapan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan diam) Nabi secara detail. Tradisi lisan inilah yang menjadi fondasi utama hadis.

Perdebatan Awal dan Izin Penulisan

Meskipun hafalan lisan menjadi metode utama, penulisan hadis juga ada, meskipun tidak secara masif pada awal masa kenabian. Awalnya, ada kekhawatiran hadis akan tercampur dengan Al-Qur’an. Namun, kemudian Nabi ﷺ memberikan izin khusus kepada beberapa Sahabat untuk mencatat Pesan Nabi, terutama untuk tujuan belajar.

Sahabat seperti Abdullah bin Amr bin al-‘Ash diizinkan menulis segala sesuatu yang beliau dengar dari Nabi. Catatan-catatan pribadi ini menjadi embrio dari kodifikasi hadis di masa depan. Metode tulisan ini menjamin akurasi dan meminimalkan risiko lupa.

Pentingnya Sanad Lisan

Meskipun tulisan mulai muncul, rantai periwayatan (sanad) Pesan Nabi tetaplah bersifat lisan. Sebuah hadis dianggap otentik jika periwayatnya dapat membuktikan bahwa ia mendengar secara langsung (sima’) dari gurunya, dan seterusnya hingga ke Nabi ﷺ. Inilah keunikan Tradisi Keagamaan Islam.

Ketergantungan pada sanad lisan menuntut integritas moral dan akurasi hafalan yang sangat tinggi dari setiap Tokoh Penyebar kabar. Sistem ini memastikan transmisi warta kenabian tidak hanya berupa teks mati, tetapi juga transmisi personal yang terpercaya.

Kodifikasi Hadis sebagai Upaya Pelestarian

Menjelang akhir abad pertama Hijriah, para ulama menyadari pentingnya kodifikasi hadis secara resmi ke dalam kitab-kitab. Upaya ini dipelopori oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kodifikasi bertujuan melestarikan Pesan Nabi dari ancaman kepunahan karena wafatnya para penghafal hadis. .

Proses kodifikasi ini menggabungkan semua catatan tulisan yang ada dengan riwayat lisan yang telah terverifikasi. Hasilnya adalah karya-karya monumental seperti Kutub as-Sittah yang menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.

Pesan Nabi sebagai Sumber Hukum

Baik transmisi lisan maupun tulisan pada akhirnya bertujuan sama: menjadikan Pesan Nabi sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Keseimbangan antara hafalan yang kuat dan catatan yang cermat melahirkan sistem otentikasi hadis yang tak tertandingi dalam sejarah.