Di era konsumerisme modern, di mana keinginan seringkali melebihi kebutuhan, pesantren menawarkan sebuah oase di mana santri secara langsung belajar kesederhanaan atau qana’ah. Konsep qana’ah adalah sikap merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan ridha terhadap pemberian Allah, jauh dari sifat serakah dan berlebihan. Melalui gaya hidup komunal yang sederhana, pesantren menjadi laboratorium nyata untuk belajar kesederhanaan ini, menanamkan nilai-nilai yang akan menjadi bekal berharga sepanjang hidup. Dengan belajar kesederhanaan dari lingkungan ini, santri diharapkan memiliki jiwa yang lebih tenang dan bersyukur.
Kehidupan santri di pesantren sangat jauh dari kemewahan. Mereka tinggal di asrama dengan fasilitas seadanya, seringkali berbagi kamar dengan banyak teman. Makanan yang disajikan biasanya sederhana, cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi tanpa ada pemborosan. Pakaian yang mereka kenakan juga seragam dan tidak mencolok, menghilangkan keinginan untuk tampil menonjol secara materi. Semua ini adalah bagian dari kurikulum tidak tertulis yang bertujuan untuk melatih santri agar tidak terlalu terikat pada hal-hal duniawi dan fokus pada esensi kehidupan. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Jurnal Pendidikan Islam Nusantara pada Mei 2025 menunjukkan bahwa santri yang lama tinggal di pesantren memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi meskipun dengan fasilitas terbatas, berkat penerapan qana’ah.
Sikap qana’ah juga diajarkan melalui pelajaran akhlak dan tasawuf. Santri dibimbing untuk memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada banyaknya harta atau kemewahan, melainkan pada ketenangan hati dan rasa syukur. Mereka diajarkan untuk menghargai setiap rezeki yang diberikan Allah, sekecil apapun itu. Misalnya, dalam budaya makan di pesantren, santri diajarkan untuk tidak menyisakan makanan dan menghabiskan porsi yang telah diambil, sebagai bentuk syukur dan menghindari pemborosan. Ini adalah praktik nyata dari belajar kesederhanaan yang diajarkan setiap hari.
Selain itu, kemandirian yang diajarkan di pesantren juga turut mendukung belajar kesederhanaan. Santri belajar untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka sendiri dengan sumber daya yang terbatas. Mereka tidak bergantung pada fasilitas mewah atau bantuan instan, melainkan belajar untuk kreatif dan adaptif. Ketiadaan gawai atau hiburan modern secara berlebihan juga mendorong mereka untuk mencari kebahagiaan dari hal-hal yang lebih substansial, seperti belajar, beribadah, dan berinteraksi dengan sesama.
Dengan demikian, pesantren, melalui gaya hidup dan kurikulumnya, secara efektif membimbing santri untuk belajar kesederhanaan dan mengembangkan jiwa qana’ah. Hal ini menciptakan pribadi-pribadi yang bersyukur, mandiri, tidak mudah mengeluh, dan memiliki pandangan hidup yang positif, sebuah bekal tak ternilai untuk menghadapi kompleksitas dunia modern dengan hati yang tenang.